Balekambang Kerta Ghosa di dalam kompleks Puri Agung Klugkung di Semarapura. |
Kerajaan Klungkung adalah suatu kerajaan yang didirikan pada abad ke-17 di Pulau Bali bagian tenggara. Kerajaan ini juga menguasai pulau-pulau di lepas pantai Selat Badung yaitu Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, dan Nusa Penida. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Klungkung berstatus sebagai Daerah Tingkat II Klungkung.
Berdirinya Kerajaan Klungkung
Kerajaan Klungkung berdiri bersamaan dengan dibangunnya Puri Agung Klungkung di Semarapura pada tahun 1686 dan diakhiri dengan Puputan Klungkung tahun 1908 sebagai kerajaan terakhir di Bali yang melakukan perlawanan dengan cara puputan
dalam mempertahankan eksistensinya sebagai kerajaan yang merdeka
terhadap meluasnya praktek politik kolonial Belanda di Nusantara.
Sistem Sosial
Sebagai sebuah kerajaan secara struktur tampak unsur-unsur yang
saling mengait di dalamnya. Hubungan antara kepemimpinan raja, Dewa
Agung sebagai penjelmaan Wisnu (gusti) dengan rakyat (kaula) atau bagawanta dengan raja dan rakyatnya sisya. Stratifikasi sosial yang dipengaruhi oleh Hinduisme dengan pembagian yang mirip dengan kasta-kasta di India. Tradisi-tradisi kerajaan seperti: tawan karang,
mesatia, penobatan raja, hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya,
kerja sama antara kerajaan-kerajaan Bali dalam menghadapi musuh dari
luar, hubungan kerajaan Klungkung dengan pemerintah Hindia Belanda. Tradisi-tradisi Majapahit seperti pusaka-pusaka keraton seperti keris dan tombak, asal usul keturunan raja bersal dari Majapahit.
Masyarakat kerajaan di Klungkung memperlihatkan ciri masyarakat yang
bertingkat-tingkat sesuai dengan golongan yang ada. Dalam situasi
sosio-kultural seperti inilah kelompok elite yang memimpin tumbuh dan
dibesarkan serta berpengaruh di masyarakat. Pengaruh yang sangat kuat
tampak jelas dalam peran yang dimainkan oleh elite politik dan religius
senantiasa bisa dikembalikan pada golongan brahmana. Raja-raja yang
memerintah sampai raja terakhir yaitu Dewa Agung Jambe dengan para
kerabatnya yang memegang kekuasaan disatu pihak dan Bagawanta dipihak
lain memiliki posisi sentral dalam pemerintahan di Klungkung, posisi
sentral kelompok pemimpin ini diperkuat lagi dengan adanya bentuk-bentuk
kepercayaan yang bersifat magis.
Kepercayaan terhadap kekuatan magis dan kitos tentang tokoh pemimpin
terutama sangat menonjol sekitar pribadi raja, Dewa Agung, yang dianggap
sebagai penjelmaan Wisnu. Benda-benda pusaka seperti keris, tombak dan
meriam I Seliksik memegang peranan penting dalam menamhbah kewibawaan
raja yang memerintah.
Kemunduran Kerajaan
Belanda mulai mengurangi kedaulatan Kerajaan Klungkung dan ingin memasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda, seperti pada tanggal 24 Mei 1843 diadakan perjanjian penghapusan tradisi tawan karang
Kerajaan Klungkung. Perjanjian ini telah menimbulkan rasa tidak senang
dikalangan pejabat kerajaan. Ditambah dengan sebab-sebab lainnya seperti
perampasan dua buah kapal yang kandas di Bandar Batulahak (Kusamba)
.Keterlibatan laskar Klungkung dalam perang antara Buleleng dengan
Militer Belanda di Jagaraga Tahun 1848-1849
mempertajam permusuhan antara pihak Belanda dengan pihak Kerajaan
Klungkung. Permusuhan dan rasa tidak puas Dewa Agung Istri Balemas
memuncak, dan akhirnya meletus menjadi perang terbuka yaitu Perang Kusamba tahun 1849. Pada perang itulah Jendral Michiels tewas sebagai pimpinan ekspedisi militer Belanda.
Yang menarik dari peristiwa perang Kusamba menurut sumber penulis Belanda
ialah munculnya tokoh wanita yaitu Dewa Agung Istri Balemas sebagai
seorang sebagai seorang wanita yang sangat benci dan menentang
intervensi Belanda dan ia dianggap pemimpin golongan yang senantiasa
menggagalkan perjanjian perdamaian dengan pihak Belanda.
Diawal Abad ke-20 disodorkan lagi perjanjian tentang Tapal Batas antara Kerajaan Gianyar dengan Kerajaan Klungkung, tepatnya pada tanggal 7 Oktober 1902. Setelah penandatanganan perjanjian Tapal Batas timbul perselisihan antara Kerajaan Klungkung dengan Gubernemen
mengenai Daerah Abeansemal, Vasal Kerajaan Klungkung yang berada di
daerah Kerajaan Gianyar. Dukungan raja Klungkung dilakukan semasa
meletusnya perang Puputan di Kerajaan Badung tahun 1906.
Perjanjian tanggal 17 Oktober 1906 tentang kedaulatan Gubernemen atas Kerajaan Klungkung telah menurunkan status kenegaraan dan politik Kerajaan Klungkung sebagai sesuhunan
raja-raja Bali. Hal ini memperkuat sikap menentang Dewa Agung Jambe II
dan kalangan pembesar kerajaan yang memuncak pada perlawanan Puputan Klungkung tahun 1908, yang menyebabkan kehancuran kerajaan dengan terbunuhnya raja Dewa Agung Jambe II beserta banyak pengikutnya.
Pada 25 Juli 1929, pemerintah Hindia Belanda merestorasi kepemimpinan Kerajaan Klungkung dengan mengangkat Dewa Agung Oka Geg sebagai Regent. Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Klungkung hanya berstatus sebagai sebuah kabupaten di dalam pemerintahan Provinsi Bali.
Dewa Agung Jambe II pada tahun 1908. |
Daftar Raja dan Ratu Klungkung
- Dewa Agung Jambe I (1686-1722)
- Dewa Agung Gede (1722-1736)
- Dewa Agung Made (1736-1760)
- Dewa Agung Sakti (1760-1790)
- Dewa Agung Putra I Kasamba (1790-1809)
- Dewa Agung Panji
- Dewa Agung Putra
- Dewa Agung Putra I
- Gusti Ayu Karang (1809-1814)
- Dewa Agung Putra II (1814-1851)
- Dewa Agung Istri Kania (1814-1856)
- Dewa Agung Putra III (1851-1903)
- Dewa Agung Jambe II (1903-1908)
- Interregnum (1908-1929)
- Dewa Agung Oka Geg (1929-1965)
- Interregnum (1965-1998)
- Dewa Agung Cokorda Gede Agung (1998-?)
- Dewa Agung Cokorda Gede Agung Semaraputra (2010-Sekarang)